KRITIK DAN ESAI PUISI TAUFIQ ISMAIL

 KRITIK DAN ESAI PUISI TAUFIQ ISMAIL

Oleh Maria Desi L Ganis 15, 2021


 KRITIK DAN ESAI PUISI TAUFIQ ISMAIL


Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia


Ketika di Pekalongan, SMA kelas tiga


Ke Wisconsin aku dapat beasiswa


Sembilan belas lima enam itulah tahunnya


Aku gembira jadi anak revolusi Indonesia




Negeriku baru enam tahun terhormat diakui dunia


Terasa hebat merebut merdeka dari Belanda


Sahabatku sekelas, Thomas Stone namanya,


Whitefish Bay kampung asalnya


Kagum dia pada revolusi Indonesia




Dia mengarang tentang pertempuran Surabaya


Jelas Bung Tomo sebagai tokoh utama


Dan kecil-kecilan aku nara-sumbernya


Dadaku busung jadi anak Indonesia




Tom Stone akhirnya masuk West Point Academy


Dan mendapat Ph.D. dari Rice University


Dia sudah pensiun perwira tinggi dari U.S. Army


Dulu dadaku tegap bila aku berdiri


Mengapa sering benar aku merunduk kini




II


Langit langit akhlak rubuh, di atas negeriku berserak-serak


Hukum tak tegak, doyong berderak-derak


Berjalan aku di Roxas Boulevard, Geylang Road, Lebuh Tun Razak,


Berjalan aku di Sixth Avenue, Maydan Tahrir dan Ginza


Berjalan aku di Dam, Champs Elysees dan Mesopotamia


Di sela khalayak aku berlindung di belakang hitam kacamata


Dan kubenamkan topi baret di kepala


Malu aku jadi orang Indonesia.


III


Di negeriku, selingkuh birokrasi peringkatnya di dunia nomor


satu,


Di negeriku, sekongkol bisnis dan birokrasi berterang-terang


curang susah dicari tandingan,


Di negeriku anak lelaki anak perempuan, kemenakan, sepupu


dan cucu dimanja kuasa ayah, paman dan kakek secara


hancur-hancuran seujung kuku tak perlu malu,


Di negeriku komisi pembelian alat-alat besar, alat-alat ringan,


senjata, pesawat tempur, kapal selam, kedele, terigu dan


peuyeum dipotong birokrasi lebih separuh masuk


kantung jas safari,


Di kedutaan besar anak presiden, anak menteri, anak jenderal,


anak sekjen dan anak dirjen dilayani seperti presiden,


menteri, jenderal, sekjen, dan dirjen sejati, agar


orangtua mereka bersenang hati,


Di negeriku penghitungan suara pemilihan umum sangat-


sangat-sangat-sangat-sangat jelas penipuan besar-


besaran tanpa seujung rambut pun bersalah perasaan,


Di negeriku khotbah, surat kabar, majalah, buku dan


sandiwara yang opininya bersilang tak habis dan tak


putus dilarang-larang,


Di negeriku dibakar pasar pedagang jelata supaya berdiri pusat


belanja modal raksasa,


Di negeriku Udin dan Marsinah jadi syahid dan syahidah,


ciumlah harum aroma mereka punya jenazah, sekarang


saja sementara mereka kalah, kelak perencana dan


pembunuh itu di dasar neraka oleh satpam akhirat akan


diinjak dan dilunyah lumat-lumat,


Di negeriku keputusan pengadilan secara agak rahasia dan tidak


rahasia dapat ditawar dalam bentuk jual-beli, kabarnya


dengan sepotong SK suatu hari akan masuk Bursa Efek


Jakarta secara resmi,


Di negeriku rasa aman tak ada karena dua puluh pungutan, lima


belas ini-itu tekanan dan sepuluh macam ancaman,


Di negeriku telepon banyak disadap, mata-mata kelebihan kerja,


fotokopi gosip dan fitnah bertebar disebar-sebar,


Di negeriku sepakbola sudah naik tingkat jadi pertunjukan teror


penonton antarkota cuma karena sebagian sangat kecil


bangsa kita tak pernah bersedia menerima skor


pertandingan yang disetujui bersama,


Di negeriku rupanya sudah diputuskan kita tak terlibat Piala


Dunia demi keamanan antarbangsa, lagi pula Piala


Dunia itu cuma urusan negara-negara kecil karena Cina,


India, Rusia dan kita tak turut serta, sehingga cukuplah


Indonesia jadi penonton lewat satelit saja,


Di negeriku ada pembunuhan, penculikan dan penyiksaan rakyat


terang-terangan di Aceh, Tanjung Priuk, Lampung, Haur


Koneng, Nipah, Santa Cruz, Irian dan Banyuwangi, ada pula


pembantahan terang-terangan yang merupakan dusta


terang-terangan di bawah cahaya surya terang-terangan,


dan matahari tidak pernah dipanggil ke pengadilan sebagai


saksi terang-terangan,


Di negeriku budi pekerti mulia di dalam kitab masih ada, tapi dalam


kehidupan sehari-hari bagai jarum hilang menyelam di


tumpukan jerami selepas menuai padi.


IV


Langit akhlak rubuh, di atas negeriku berserak-serak


Hukum tak tegak, doyong berderak-derak


Berjalan aku di Roxas Boulevard, Geylang Road, Lebuh Tun Razak,


Berjalan aku di Sixth Avenue, Maydan Tahrir dan Ginza


Berjalan aku di Dam, Champs Elysees dan Mesopotamia


Di sela khalayak aku berlindung di belakang hitam kacamata


Dan kubenamkan topi baret di kepala


Malu aku jadi orang Indonesia.




1998




Kritik dan Esai Puisi "Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia" Karya Taufiq Ismail


          Puisi di atas merupakan salah satu dari kumpulan puisi karya Taufiq Ismail. Taufiq Ismail lahir di Sumatera Barat, 25 Juni 1935. Taufiq Ismail adalah lulusan FKHP-UI Bogor. Taufiq Ismail telah banyak menulis puisi, salah satu hasil karya beliau adalah puisi di atas dengan judul “Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia”. Menurut Pradopo (2009: 7), puisi merupakan ekspresi pemikiran yang membangkitkan perasaan dan merangsang imajinasi panca indera dalam susunan yang berirama.


          Dalam puisi di atas, menggambarkan ketidakstabilan kehidupan di negara ini karena kekuasaan pemerintah. Pada bait pertama menggambarkan situasi awal saat masa revolusi Indonesia yang mana semua orang bersatu dan berjuang untuk menjadi negara yang merdeka, bahkan seluruh orang di dunia takjub dengan perjuangan yang dilakukan oleh orang-orang di Indonesia. Hal tersebut tergambar dalam larik berikut.


Aku gembira jadi anak revolusi Indonesia


Negeriku baru enam tahun terhormat diakui dunia


Terasa hebat merebut merdeka dari Belanda


Sahabatku sekelas, Thomas Stone namanya,


Whitefish Bay kampung asalnya


Kagum dia pada revolusi Indonesia


           Namun, seiring dengan berjalannya waktu, pemerintah mulai berkuasa dengan semena-mena membuat negara menjadi tidakstabil, yang mana banyak kecurangan-kecurangan dari penguasa untuk kepentingan pribadi. Pada bait ketiga puisi di atas tergambar banyak sekali ketidakadilan yang terjadi di negeri ini, seperti seseorang yang mampu dengan mudah mendapatkan jabatannya karena memiliki keluarga yang memiliki kedudukan tinggi dalam negara, rakyat kecil yang diusir dari tanah mereka untuk dijadikan proyek pemerintahan, hukum dapat diperjual belikan, dan hilangnya kebebasan dalam berpendapat, seperti yang tergambar dalam larik berikut.


Di negeriku anak lelaki anak perempuan, kemenakan, sepupu


dan cucu dimanja kuasa ayah, paman dan kakek secara


hancur-hancuran seujung kuku tak perlu malu,


Di negeriku khotbah, surat kabar, majalah, buku dan


sandiwara yang opininya bersilang tak habis dan tak


putus dilarang-larang,


Di negeriku dibakar pasar pedagang jelata supaya berdiri pusat


belanja modal raksasa,


Di negeriku keputusan pengadilan secara agak rahasia dan tidak


rahasia dapat ditawar dalam bentuk jual-beli, kabarnya


dengan sepotong SK suatu hari akan masuk Bursa Efek


Jakarta secara resmi,




           Dalam puisi di atas juga tergambar sebuah realita tentang kejadian pembunuhan yang menimpa seorang wartawan yang bernama Udin pada masa orde baru. Selama menjadi wartawan, Udin sudah banyak membuat berita atau kritik terhadap pemerintahan saat itu, sehingga banyak penguasa yang tidak senang. Kemudian ada juga kejadian seorang buruh bernama Marsinah yang menggerakkan para buruh untuk memperjuangkan hak asasi manusia, namun hilang secara misterius yang kemudian ditemukan dalam keadaan tidak bernyawa. Dalam hal tersebut terlihat bahwa adanya larangan kebebasan berpendapat dan ketidakadilan yang diterima oleh rakyat. Semua yang berupa tulisan berisi tentang peraturan atau undang-undang telah dibuat, ditata, dan ditulis dengan baik namun pada kenyataannya semua itu belum terlaksana secara nyata. Terbukti dengan adanya kasus yang menimpa Udin dan Marsinah, hal tersebut tergambar dalam larik berikut.


Di negeriku Udin dan Marsinah jadi syahid dan syahidah,


ciumlah harum aroma mereka punya jenazah, sekarang


saja sementara mereka kalah, kelak perencana dan


pembunuh itu di dasar neraka oleh satpam akhirat akan


diinjak dan dilunyah lumat-lumat,


Di negeriku budi pekerti mulia di dalam kitab masih ada, tapi dalam


kehidupan sehari-hari bagai jarum hilang menyelam di


tumpukan jerami selepas menuai padi.


          Seperti yang kita ketahui bahwa setiap penulis memiliki gaya menulis mereka masing-masing dan hal tersebut membuat hasil karya mereka menjadi menarik. Seperti pada puisi di atas, puisi “Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia” karya Taufiq Ismail, terdiri dari 4 bait, kemudian terdapat pengulangan atau repetisi pada bait ke-2 dan bait ke-4.

Komentar

Postingan Populer