KRITIK DAN ESAI PUISI "IDUL FITRI" KARYA SUTARDJI CALZOUM BACHRI

 Maria Desi L Ganis

KRITIK DAN ESAI PUISI "IDUL FITRI" KARYA SUTARDJI CALZOUM BACHRI

Oleh Maria Desi L Ganis Mei 15, 2021


Idul Fitri

Pedang tobat ini menebas-nebas hati


Dari masa lampau yang lalai dan sia


Telah kulaksanakan puasa ramadhanku,


Telah kutegakkan shalat malam


Telah kuuntaikan wirid tiap malam dan siang


Telah kuhamparkan sajadah


Yang tak hanya nuju Ka’bah


Tapi ikhlas mencapai hati dan darah


Dan di malam-malam Lailatul Qadar akupun menunggu


Namun tak bersua Jibril atau malaikat lainnya


Maka aku girang-girangkan hatiku


Aku bilang:


Tardji rindu yang kau wudhukkan setiap malam


Belumlah cukup untuk menggerakkan Dia datang


Namun si bandel Tardji ini sekali merindu


Takkan pernah melupa


Takkan kulupa janji-Nya


Bagi yang merindu insya Allah kan ada mustajab Cinta


Maka walau tak jumpa denganNya


Shalat dan zikir yang telah membasuh jiwaku ini


Semakin mendekatkan aku padaNya


Dan semakin dekat


Semakin terasa kesia-siaan pada usia lama yang lalai berlupa


O lihat Tuhan, kini si bekas pemabuk ini


Ngebut


Di jalan lurus


Jangan Kau depakkan lagi aku ke trotoir


Tempat usia lalaiku menenggak arak di warung dunia


Kini biarkan aku meneggak marak CahayaMu


Di ujung sisa usia


O usia lalai yang berkepanjangan


Yang menyebabkan aku kini ngebut di jalan lurus


Tuhan jangan Kau depakkan aku lagi ke trotoir


Tempat aku dulu menenggak arak di warung dunia


Maka pagi ini


Kukenakan zirah lailahaillAllah


Aku pakai sepatu sirathalmustaqim


Aku pun lurus menuju lapangan tempat shalat Id


Aku bawa masjid dalam diriku


Kuhamparkan di lapangan


Kutegakkan shalat


Dan kurayakan kelahiran kembali


Di sana





Kritik dan Esai Puisi “Idul Fitri” Karya Sutardji Calzoum Bachri


Puisi di atas merupakan salah satu karya seorang sastrawan yang bernama Sutardji Calzoum Bachri. Sutardji Calzoum Bachri lahir di Rengat, Indragiri Hulu 24 Juni 1941. Sutardji Calzoum Bachri adalah lulusan dari Universitas Padjadjaran Bandung. Sutardji Calzoum Bachri telah banyak menulis kumpulan puisi dan kumpulan cerpen bahkan karyanya telah diterbitkan dalam bahasa Inggris, Belanda, dan Rusia. Salah satu hasil karya beliau adalah puisi di atas dengan judul Idul Fitri.


Menurut Pradopo (2009:7), puisi merupakan ekspresi pemikiran yang membangkitkan perasaan dan merangsang imajinasi panca indera dalam susunan yang berirama. Seperti dalam puisi di atas sesuai dengan judulnya yaitu “Idul Fitri”, penulis menggambarkan suasana yang kental akan nuansa Islami yaitu ketika hari raya Idul Fitri tiba.


Dalam larik berikut,


Lihat


Pedang tobat ini menebas-nebas hati


Dari masa lampau yang lalai dan sia


Telah kulaksanakan puasa ramadhanku,


Telah kutegakkan shalat malam


Telah kuuntaikan wirid tiap malam dan siang


Telah kuhamparkan sajadah


Yang tak hanya nuju Ka’bah


Tapi ikhlas mencapai hati dan darah


Dan di malam-malam Lailatul Qadar akupun menunggu


Namun tak bersua Jibril atau malaikat lainnya


Maka aku girang-girangkan hatiku


            Dalam larik di atas, menggambarkan susasan saat bulan suci Ramdhan, dimana umat muslim berlomba-lomba melakukan sholat malam, bersujud kepada Allah SWT untuk meminta pengampunan dari dosa-dosanya yang lalu dan hal yang ditunggu oleh umat muslim saat bulan suci Ramadhan adalah malam Lailatul Qadar yaitu malam yang lebih baik dari seribu bulan. Malam Lailatul Qadar merupakan malam ketika Nabi Muhammad SAW menerima wahyu pertama Al-Quran dari Allah SWT melalui malaikat Jibril. Malam Lailatul Qadar merupakan malam saat para malaikat turun ke bumi untuk memberikan berkah serta kedamaian bagi seluruh umat Islam sampai terbit fajar. Oleh sebab itu seluruh umat Islam sangat menantikan malam Lailatul Qadar.


Kemudian dalam larik berikut,


Aku bilang:


Tardji rindu yang kau wudhukkan setiap malam


Belumlah cukup untuk menggerakkan Dia datang


Namun si bandel Tardji ini sekali merindu


Takkan pernah melupa


Takkan kulupa janji-Nya


Bagi yang merindu insya Allah kan ada mustajab Cinta


Maka walau tak jumpa denganNya


Shalat dan zikir yang telah membasuh jiwaku ini


Semakin mendekatkan aku padaNya


Dan semakin dekat


Semakin terasa kesia-siaan pada usia lama yang lalai berlupa


Dalam larik di atas, penulis menggambarkan tokoh Tardji melakukan segala hal untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Tokoh Tardji sadar bahwa menjalankan sholat malam saja tidak cukup untuk membuat para malaikat datang namun, tokoh Tardji percaya bahwa dengan bersungguh-sungguh Allah SWT akan selalu mendengar doa-doa para umatnya, hal tersebut juga berguna untuk mendapatkan kedamaian dan ketentraman hati serta jiwa.


Dalam larik berikut,


O lihat Tuhan, kini si bekas pemabuk ini


Ngebut


Di jalan lurus


Jangan Kau depakkan lagi aku ke trotoir


Tempat usia lalaiku menenggak arak di warung dunia


Kini biarkan aku meneggak marak CahayaMu


Di ujung sisa usia


O usia lalai yang berkepanjangan


Yang menyebabkan aku kini ngebut di jalan lurus


Tuhan jangan Kau depakkan aku lagi ke trotoir


Tempat aku dulu menenggak arak di warung dunia


Dalam larik di atas, menggambarkan bahwa seseorang yang berusaha untuk bertobat dan terus menerus tidak berhenti untuk bersujud serta meminta pengampunan kepada Allah SWT karena telah terlena oleh gemerlap dunia yang hanya sementara.


Dalam larik berikut,


Maka pagi ini


Kukenakan zirah lailahaillAllah


Aku pakai sepatu sirathalmustaqim


Aku pun lurus menuju lapangan tempat shalat Id


Aku bawa masjid dalam diriku


Kuhamparkan di lapangan


Kutegakkan shalat


Dan kurayakan kelahiran kembali


Di sana


Dalam larik di atas, menggambarkan suasana saat tiba hari raya Idul Fitri. Pada pagi hari seluruh umat muslim pergi untuk melakukan sholat Id, kemudian dilanjutkan dengan saling memohon maaf dari kesalahan yang telah lalu sehingga pada hari raya Idul Fitri menjadi momen yang spesial karena seluruh umat muslim kembali suci seperti seorang bayi terlahir tanpa dosa.   


Puisi dengan judul “Idul Fitri” memiliki 44 baris. Seperti yang kita ketahui bahwa, setiap sastrawan memiliki gaya menulis mereka masing-masing, hal tersebut membuat hasil karya sastra mereka menjadi menarik untuk dinikmati. Dalam puisi yang berjudul “Idul Fitri” karya Sutardji Calzoum Bachri, pemilihan kata yang digunakan mudah untuk dipahami dan tidak terlalu sulit.

Komentar

Postingan Populer