KRITIK ESAI PUISI WIJI THUKUL
KRITIK ESAI PUISI WIJI THUKUL
Oleh Maria Desi L. Ganis mei 23, 2021
Wiji Thukul terlahir dari sebuah keluarga yang cukup dibilang sederhana. Ia lahir di Sorogenen, Solo 26 Agustus 1963. Wiji Thukul mulai menulis puisi sejak SD. Ia merupakan seorang sastrawan sekaligus aktivis HAM yang cukup banyak terlibat dalam sebuah aksi demonstrasi. Tetapi sampai saat ini jejak-jejak Wiji Thukul tidak diketahui lagi keberadaanya semenjak tragedi 1988. Meskipun begitu kaya-karya Wiji Thukul tetaplah hidup sampai saat ini. Banyak puisi-puisi yang diciptakan oleh Wiji Thukul salah satunya adalah “Peringatan dan “Di Bawah Selimut Kedamaian Palsu”.
Puisi pertama
Dalam puisi “Peringatan” menggambarkan saat banyak hal yang terjadi di dalam pemerintahan. Rakyat yang mulai acuh dan mulai bersikap bodoamat terhadap pemerintahan tidak mau mendengarkan pemerintah, bahkan kebenaranpun tidak dapat diperoleh dimanapun.
Dalam puisi tersebut menggambarkan bahwa Wiji Thukul menentang kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemerintah pada saat Orde baru bahkan Wiji Thukul mengajak masyarakat untuk melakukan aksi supaya mendapatkan hak asasi manusia. Puisi ini menyampaikan apa yang dirasakan oleh masyarakat. Penulis ingin pemerintah dan masyarakat bersatu untuk memperbaiki negeri ini bukan malah saling mengkhianati.
Puisi kedua
Untuk puisi yang kedua yaitu “Di Bawah Selimut Kedamaian Palsu” menggambarkan pemerintahan yang dzalim saat itu, pemerintahan yang suka berkomplot dengan orang-orang licik dengan tujuan kepentingan mereka sendiri.
Apa guna punya ilmu
Kalau hanya untuk mengibuli
Apa gunanya banyak baca buku
Kalau mulut kau bungkam melulu
Bait puisi ini menggambarkan bahwa seseorang yang memiliki ilmu namun mereka tidak mengamalkan ilmunya dalam sebuah kebaikan maka ilmu itu tidaklah ada gunanya. Bahkan orang yang membaca buku tetapi selalu diam dan tidak menegakkan kebenaran itu hanyalah sebuah kesia-siaan.
Dalam puisi tersebut menjelaskan pula kelicikan para pemerintahan yang berakibat kepada rakyat-rakyatnya, mereka merasa tertindas dan tidak mendapatkan keadilan. Makna dari puisi tersebut memiliki makna seperti keadaan saat ini bahwa ketika memiliki ilmu harus dimanfaatkan tidak hanya untuk kepentingan sendiri dan juga tidak merugikan orang lain.
Komentar
Posting Komentar